Pages

12 May 2013

Buat Mama, dari Aku, si mahasiswa tingkat akhir

Ma, gimana kabar sekeluarga di rumah, baik-baik kah?
Nggak terasa hampir 4 tahun aku merantau. Jauh dari rumah, Jauh dari mama.
Inget dulu, saat masih jadi mahasiswa baru. Betapa sulitnya beradaptasi di awal. 
Ngga ada masakan mama waktu pulang kuliah, nggak ada mama yang menyambut saat balik ke kosan.
Ngga ada mama yang tersenyum dan menanyakan kegiatan aku hari ini.

Tahun-tahun kedua, aku mulai bisa menikmati kuliah. Udah punya temen, udah terbiasa mengurus segala sesuatu sendiri. Mulai menikmati suka duka tugas-tugas kuliah. Menikmati masa-masa paling nyaman. Ditengah-tengah. Iya ma, seperti kelas 2 SMA dulu. Masa-masa paling nyaman. Ditengah-tengah. Udah bisa beradaptasi, nggak seperti anak baru, tapi juga belum pusing mikirin ujian nasional, dll.

Ma, sekarang aku udah di tahun terakhir aku kuliah. Tingkat 4. Usia aku juga udah kepala 2. Udah bukan anak 17 tahun lagi yang apa-apa selalu minta ditemenin. Sekarang aku udah besar. 
Tapi nggak tau kenapa ma, semakin kesini, aku ngerasa semakin berat. Udah banyak pikiran yang ada di otakku. Dan aku ngerasa nggak punya cukup kekuatan buat ngehadapin itu.

Sekarang aku mahasiswa tingkat akhir Ma, sedang sibuk dengan Tugas Akhir. Maaf kalau aku jadi jarang hubungin mama dirumah.
Aku suka ngerasa berat nyeleseiin ini Ma, kadang malas, kadang ngerasa stuck, down, dan malas buat ngelanjutin. Kadang aku lebih suka nyari pelarian dan menunda-nunda. Aku lebih suka jalan-jalan atau ngelakuin kegiatan lain daripada ngerjain Tugas Akhir yang bikin kepala aku pusing. Dengan jalan-jalan aku bisa having fun, ngelupain Tugas Akhir ini.

Tapi hari ini tiba-tiba kebayang muka mama. Mama yang udah bersusah payah supaya aku bisa kuliah sampai sekarang. Mama yang selalu berdoa buat aku walaupun aku jauh disini. Mama yang selalu nyemangatin aku.

Keinginan-keinginan aku mungkin banyak, aku mau lari dari Tugas Akhir ini dalam waktu yang nggak bisa aku tentuin. Aku mau ini dulu, aku mau itu dulu. Aku selalu menunda-nunda ini karena ngerasa ini susah buat aku.

Tapi aku lalu sadar. Mimpi-mimpi mama lebih penting buat aku. Aku tau mama berkeinginan melihat anaknya ini diwisuda dan segera bisa mendapat pekerjaan yang layak. Aku tau mama bermimpi anaknya yang mulai dewasa ini menyelesaikan kuliahnya dan benar-benar mendapat gelar. Aku tau mimpi-mimpi mama itu. Tak peduli  berapa rupiah dikeluarkan, bagi mama, melihat aku diwisuda adalah hal yang membanggakan. Tak peduli predikat mahasiswa terbaik, cumlaude, atau apapun.

 Dan buat aku sekarang, mimpi mama itu lebih penting dibanding keinginan-keinginan sesaat aku. Buat aku, yang terpenting saat ini adalah mewujudkan mimpi-mimpi mama, dan Insya Allah, segera mengumpulkan uang supaya bisa membawa mama dan keluarga ke tanah suci. Buat aku, ngelihat mama tersenyum ketika aku memakai toga adalah pelepas semua lelah mengerjakan ini. 


Aku tau ma, masih banyak orang yang bahkan ngga punya biaya untuk kuliah. Karena itu, aku nggak mau ngecewain mama. Aku akan berusaha. Mimpi-mimpi mama akan jadi penerang ketika aku ngerasa sedang jatuh. Mimpi-mimpi mama akan jadi penguat ketika aku mulai ngerasa lemah. Dan mimipi-mimpi mama yang akan selalu jadi penyemangat ketika aku merasa malas.



Thanks God!

"Tuhan menganugerahi aku kekuatan dan kebesaran hati untuk menerima hal-hal yang tidak bisa diubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya".

Sejak dulu aku terbiasa dengan nasehat untuk jangan selalu memandang ke 'atas', tapi lihatlah ke 'bawah' supaya kita merasa menjadi orang yang beruntung dan senantiasa bersyukur. Tapi sekarang, aku kira perlu untuk memandang ke 'atas', agar kita termotivasi untuk bisa mencapai atas.

Nasehat untuk selalu memandang ke bawah, ke orang-orang yang tidak seberuntung kita, mungkin nggak ada salahnya juga. Dengan membandingkan, walaupun bukan dengan niat membanding-bandingkan, kita akan sadar bahwa masih banyak orang yang kehidupannya tidak seberuntung kita. 

Disaat kita mengeluh betapa kurang empuknya tempat tidur kita, maka terbayang bahwa diluar sana masih banyak anak-anak kecil, sekeluarga, yang tidur hanya dengan beralaskan tanah.
Disaat kita mengomentari betapa jeleknya rumah kita, maka teringat bahwa diluar sana masih banyak orang yang tinggal beratapkan langit. 
Anak-anak yang hanya bisa menggantungkan asa setinggi langit untuk bisa mencicipi sekedar bangku sekolah dasar tanpa punya kesempatan untuk membuat mimpinya nyata. Tentu dirasa tak sebanding dengan kita, anak-anak yang paling tidak punya sedikit uang berlebih untuk berselancar di dunia maya, disaat anak-anak lain bahkan tidak punya sepeser pun untuk makan.
Disaat kita masih punya waktu untuk merencanakan mimpi-mimpi dimasa depan, diluar sana banyak orang yang hidup hanya uuntuk hari ini. Berfikir bagaimana menjalani hari ini tanpa punya waktu memikirkan hari esok.

Dan disinilah hidup mengajarkan arti bersyukur.Dengan melihat kebawah, ke orang-orang yang hidupnya tidak seberuntung kita. 

Lalu dimana hidup mengajarkan arti keberanian?
Tentu Tuhan selalu punya cara. Semua orang diciptakan berbeda agar manusia bisa belajar satu sama lain. Dari orang yang kurang dibanding kita, kita bisa melihat sudah seberapa banyakkah kita bersyukur. dan dari orang yang lebih dibanding kita, kita bisa belajar tentang keberanian. Ya, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa diubah. 

Dari orang-orang hebat kita bisa belajar untuk menjadi lebih baik. Dari orang-orang sukses kita bisa belajar bagaimana mencapai kesuksesan. 

Dengan melihat orang-orang di 'atas', seharusnya bisa menjadi motivasi sekaligus semangat bagi kita. Bahwa kita bisa, kita mampu untuk mencapai tingkatan yang sama.

See? Tuhan kadang hadir dengan cara yang tidak terduga. Disaat kita meminta kekuatan, Tuhan hadir memberi ujian agar kita belajar kuat. 
Melihat ke bawah bukan untuk menyombongkan diri, dan melihat ke atas bukan untuk menyesali diri sendiri. Itulah mengapa Tuhan menganugerahi manusia kebijaksanaan untuk bisa membedakan keduanya.
07 May 2013

Kisah Tilang Polisi Lalu Lintas

Selama ini aku udah banyak denger tentang kasus tilang dari orang-orang, temen-temen, yang cerita langsung atau sekedar sharing di sosial media. Udah sering juga baca/liat tentang tilang menilang dari berita-berita. Yang bisa aku tangkep adalah, tilang menjadi sebuah hal yang menakutkan bagi orang-orang, bukan karena melanggar lalu lintasnya, tapi karena keharusan membayar uang ke petugas yang menilang. Jalan-jalan kemana-mana nggak lagi ngerasa nyaman karena bisa aja tiba-tiba ditilang tanpa ada alesan yang jelas. Mau membela diri juga ngga bisa karena dengan semena-menanya pak polantas itu langsung nyuruh tanda tangan atau menawarkan sejumlah 'nominal' damai. Bikin males nggak sih?

Yup, kasus tilang menilang memang bukan hal baru, belum lama Indonesia digemparkan video youtube tentang polisi lalu lintas yang minta uang 'damai' sekaligus mengajak seorang turis asing minum minuman keras di pos polisi, Bali. Banyak opini kalau kegiatan tilang menilang yang dilakukan polantas semata-mata merupakan contoh 'mencari uang tambahan'. Ada juga yang jelas-jelas bilang kalau itu korupsi jalanan.

Pengalaman pertama berhubungan dengan kasus tilang menilang itu waktu dulu, jadi kejadiannya hari minggu, kebetulan temen aku dari Jakarta ada keperluan di Bandung bareng keluarganya bawa mobil. Teman aku itu dan keluarga nya lalu ngajak aku jalan-jalan ke mall. Pulang dari mall, mereka sekeluarga nganterin aku dulu ke kosan baru balik ke Jakarta. Nah, dalam perjalanan balik dari mall ke daerah kosan aku itu, disebuah jalan raya, tiba-tiba ada polantas yang nyuruh Papa nya temen aku buat minggir ke tepi. Dan beginilah percakapannya :

Papa temen aku : " Ada apa pak?"
Polantas       : "maaf pak, bapak mau kemana?"
Papa temen aku : " mau ke daerah X pak "
Polantas      : "ooh, kalau mau ke daerah itu nggak boleh lewat sini pak, bapak dari jakarta?" (sebelumnya pak polantas udah tau kalau mobilnya plat B.
Papa temen aku  : "iya saya orang jakarta, tapi abis dari mall ..., kenapa nggak boleh? tadi saya liat rambu jalan, ke daerah X bisa belok sini kok "
Polantas      : "maaf pak, tapi kalau ke daerah X ngga boleh belok sini, mending kita ke pos aja dulu pak"
Papa temen aku   : "Lah, tapi kenapa pak? salahnya dimana? di rambu juga dibolehin kok lewat sini. apa karena saya plat B? lah, itu banyak mobil plat B belok sini kenapa ngga diberhentiin juga?"
Polantas          : (tetep ngotot dengan alasan ke daerah X ngga boleh lewat sini) "maap pak, ayo kita selesaikan di pos"
Papa temen aku  : "Lah, saya ngga mau kalau saya ngga tau salahnya apa. kalau memang ke daerah X nggak boleh lewat sini, kenapa peraturan di rambunya nggak melarang? trus kenapa bapak nggak nanyain semua mobil yang belok sini mereka mau ke daerah mana?"
Polantas         : (tetep ngotot ngajak papa temen aku buat ke pos).

Aku yang duduk dibelakang tetep bisa ngedenger percakapan itu, dan mulai ngerasa heran, kenapa pak polantas ini nggak memberi keterangan jelas dan masuk akal tentang kesalahan. Kenapa tiba-tiba nilang. Agak janggal, apalagi si pak polantas ngotot banget minta ngomonginnya di pos. Seolah-olah nggak mau ada orang lain yang dengar percakapan itu.

Kejadian kedua :
Aku dan si aa' baru balik dan dalam perjalanan pulang naek motor. Kita ngelewatin jalanan yang kanan kirinya rumah-rumah besar (ngga tau kantor atau rumah pribadi). Jadi sebenarnya jalanannya itu pendek, kaya jalan penghubung gitu (bayangin huruf H, nah, jalan yang kita laluin itu kaya tanda - yang hubungin satu garis ke garis lain. Pas udah di tengah-tengah jalan itu, tiba-tiba ada mobil polisi yang berhentiin motor kita dan langsung minta keluarin STNK dan SIM. Aku nggak tau itu bapak petugas polantas atau apa lah divisinya di kepolisian, yang jelas pake jaket polantas.

Petugas A          : "maaf, mas mau kemana?"
Aa'                : "pulang pak, ke daerah X"
Petugas A          : "tau nggak kalau jalan sini satu arah?"
Aa'                : "wah, maaf ngga tau pak, tandanya dimana?"
Petugas A      : "itu di depan jalan sana ada, tau nggak forbiden?"


dan gitu-gitu yang intinya memojokkan kalau kita salah. Nggak mau tau alesan kita. Nah, petugasnyanya tuh ada dua, yang satu lagi meriksa SIM dan STNK si aa', satunya lagi nyamperin aku.



Polantas A          : "ini SIM ngga bikin di daerah sini?"
Aa'                : "iya pak, saya orang luar jawa, sedang urus KTP dan surat-surat lain buat pindah ke daerah sini"


Ups, yang aku bingung, emang ngga boleh ya, bawa kendaraan di daerah A, tapi SIM nya bikin di daerah B, apa ada yang salah?. Nah, si pak polantas tuh kaya mempermasalahkan SIM itu dibikin dimana.



Aa'               : "saya baru urus KTP sini Pak, kan kalau bikin SIM harus sama data-datanya sama KTP"
Polantas A       : (tetep acuh) "udah kamu tanda tangan dulu sini" (sambil ngotot) 

Aa'                : "lah, jadi salah saya gara-gara forbiden ato gara-gara SIM pak?. Kalau ngurus SIM juga kan nggak bisa sehari dua hari pak"

Polantas A          : (dengan nada sok tau dan menggurui) "bikin SIM itu ngga nyampe berminggu-minggu, sehari dua hari jadi"

Aa'                 : "Lah, ngga pak, kata temen saya...." (belom juga selesai ngomong)

Polantas A          : "Temen? Jadi kamu bikinnya nembak?"



Laaaaah,,, makin bingung aja aku, kok bapaknya kaya nyari-nyari kesalahan gitu sih. Lagian aku mikir, kalau bikin SIM baru, emang sehari dua hari jadi? kok malah bapaknya yang nuduh pake joki? padalah kan kalau 'jujur' bikin SIM, harus ada tes ini itu, administrasi. Bisa gitu sehari dua hari?. Yang saya pernah denger dari orang-orang dekat sih, kalau jujur malah ngga dilulus-lulusin, harus ulang berkali-kali, dan lama, makanya banyak orang milih nembak supaya dicepetin dan langsung lulus. *buat yang pernah bikin SIM dengan jujur sejujur-jujurnya lewat prosedur yang berlaku, harap pencerahannya ya


Sementara itu aku berusaha memulai percakapan dengan si Polantas B

Aku              : "itu arti tanda disebelah kanan apa pak?" (aku lupa apa tulisannya, entah shabara atau apa. Aku tanya-tanya soalnya secara Papa aku juga polisi -tapi bukan polantas-)
Polantas B       : (Bukannya jawab dengan betul dan serius, malah bilang) "ini artinya sabar dan ceria, hahahah"

Eeewww,,, ilfil aku, ini petugas kaya nggak ada wibawa-wibawa nya banget.

Aku               : "ini jalan forbiden pak? kok saya sering liat dipake dua arah. Tandanya dimana?"
Polantas          : " adek mahasiswa? mau ke mall X atau kemana?" (nyebutin mall yang deket situ)

Dalam hati aku, "mengalihkan pembicaraan nih bapak". Ditanya apa balik nanya yang laen, dan nggak ramah sama sekali.

Aku               : "kan tadi udah dibilang saya mau balik pak, ke daerah X. Ada tandanya ngga pak? " (aku tetep ngotot nanya)
Polantas           : " Ada di depan jalan sana"
Aku               : "Trus kenapa bapak jaga nya disini? ditengah-tengah, kenapa nggak diujung sana supaya nggak ada orang yang ngelanggar tandanya?"

dan si bapak lagi-lagi ngalihin pembicaraan dengan bilang disini tuh satu arah soalnya daerah jalan sana menyempit, adek kalo lewat sini bisa oleng motornya. banyak kecelakaan.Saya juga tadi baru nilang orang yang lewat sini.

Aku              :" ya kalo banyak kecelakaan, sering dijagain dong Pak, jangan cuma sekali dua kali aja dipatroliin"

Bapaknya ngga peduli sama omongan aku, terus aja ngotot disitu ngga boleh lewat.

Pas balik menuju 'arah yang benar', aku dan Aa' nyari tanda forbiden. Tapi, tandanya itu udah ketutupan daun-daun pohon rumah-rumah gede yang ada disitu, tanda nya udah dicoret-coret dan diletakin ditempat yang ngga gampang keliatan kalau ada kendaraan yang mau belok kanan ke jalan itu.

Bukannya nggak mau ikut peraturan. Tapi ya aneh aja, dimana tugas polisi yang katanya mengayomi? apalagi polisi lalu lintas yang berhubungan langsung sama masyarakat disekitar. Kenapa seolah-olah nyari pendapatan lain dengan cara tilang menilang dan mengada-adakan kesalahan orang?. Ya kaya yang aku bilang ke bapaknya "kenapa nggak jaga di depan supaya mengingatkan orang-orang agar nggak melanggar?" 
kenapa seolah-olah menjebak, jaga ditengah-tengah supaya dapet banyak 'mangsa'.

Aku yakin peraturan dibuat pasti ada alesan dan niat baik dibaliknya. Tapi yang lebih penting lagi buat aku adalah peran petugas-petugas itu yang seharusnya mensosialisasikan peraturan yang ada. Istilahnya 'mengingatkan' sebelum ada kejadian pelanggaran. Bukannya membiarkan sampai ada pelanggaran yang terjadi trus mengambil kesempatan buat nyari keuntungan dari situ. 
Atau kalau nggak, bagaimana caranya supaya peraturan itu dilakukan dengan benar dan jelas, jadi ngga ada kesempatan untuk "nyari-nyari kesalahan" atau "nyari-nyari pembenaran" buat yang bersalah. Kaya misalnya kejadian tanda rambu-rambu tadi, gimana bisa dilihat jelas kalau rambunya ngga layak? kaya misalnya ada mobil tabrakan gara-gara lampu lalu lintas nya eror, itu nggak bisa semerta-merta langsung nyalahin pengendara mobil. Tapi evaluasi juga, rambu nya memadai ngga?, peran petugas dimana? jangan cuma patroli didaerah-daerah sepi, tapi juga didaerah-daerah yang sering macet, jalan raya yang rambunya kurang juga harus diperhatikan. 

Dengan banyaknya kejadian kaya gini, nggak heran kalau masyarakat jadi kehilangan rasa hormat terhadap petugas dan rambu-rambu lalu lintas yang ada. Di pikirannya mungkin bilang "buat apa ikutin peraturan, petugasnya aja gampang dibayar"
Ada juga yang mikirnya mungkin males berlarut-larut ke meja sidang (walaupun sebenarnya ngga salah), jadi memilih untuk damai ditempat. Ini yang namanya lingkaran setan. Petugasnya kaya gitu, masyarakatnya kaya gitu, dan pola pikirnya kaya gitu.

Btw, pernah dapet juga cerita dari seorang guru pas SMA dulu, si ibu waktu itu ditilang karena petugas bilang melanggar lampu merah. Lagi-lagi tempatnya bukan ditempat ramai, bukan jalan raya utama. Dan lampunya pun ketutupan pohon rindang. Karena si ibu ngga mau damai ditempat, si ibu bilang "saya mau sidang aja". Maksud si ibu supaya di persidangan beliau juga bisa komplain kalau rambu-rambunya memang nggak diatur dengan baik. Nyaranin supaya ngga ada pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang berujung kecelakaan juga.
dan si Ibu cerita, kalau pas sidang itu, nggak seperti yang beliau bayangkan. Jadi proses sidangnya itu kaya si hakim bilang "anda bersalah karena ......., silahkan bayar denda sebesar.......". Jadi di persidangan pun orang-orang dipaksa untuk mengakui kalau ia bersalah. nggak ada pembelaan diri. Persidangan lalu lintas cuma buat 'mengiyakan' kesalahan  dan bayar denda. Aku pikir, Laaaah, apa bedanya ini mah?? 

Nggak bisa disalahkan juga kalau kejadian kecelakaan lalu lintas makin banyak. Faktor manusia nya kurang baik, bagaimana bisa baik kalau anak umur 15 tahun pun dengan gampang bisa punya SIM dengan nembak? bagaimana bisa baik kalau nggak ada efek jera dari peraturan, atau petugas yang mengajak ke peraturan yang benar?.

Pada intinya segala hal itu sistem, memang ngga mudah kalau ingin memperbaiki sistem. Satu hal berubah, harus ada perubahan di sisi lain karena saling mempengaruhi. Semoga kedepannya ngga cuma peraturan yang dibuat dengan niat baik, tapi juga pelaksanaannya, petugasnya, pengawasnya, dan masyarakat sebagai pelakunya, semakin sadar untuk membuat bangsa ini semakin besar dan semakin baik. Nggak akan ada perubahan kalau nggak ada yang berani berubah, kalau semuanya berharap orang lain berubah terlebih dahulu. Semoga semua pihak sadar akan hak dan kewajibannya masing-masing, sadar akan peran dan tugas yang diberikan.

Mohon maaf kalau ada yang tersinggung dari tulisan aku ini. Sekali lagi, aku ngga men judge semua polantas pasti kaya gitu. Semua polisi pasti kaya gitu. Hanya mungkin oknum-oknum tertentu. Makanya supaya nggak makin banyak oknum, aku mau semua orang sadar bahwa setiap masalah bisa jadi nggak cuma satu dua orang yang menyebabkan. Ngga cuma petugas yang bertanggung jawab terhadap keamanan lalu lintas, tapi kita juga sebagai pengguna jalan bertanggung jawab untuk berkendara dengan hati-hati supaya ngga merugikan orang lain. Semua punya peran nya sendiri-sendiri.


Tambahan, mungkin bermanfaat : http://www.transparansi.or.id/wp-content/uploads/1998/11/kajian3_lalin.html