Pages

27 August 2013

Jangan Ngeluh

Ceritanya ada seorang lelaki.

Di pagi hari, ia mengeluhkan kopinya yang pahit, ketika istrinya bilang harga gula naik, ia menyalahkan pemerintah yang nggak bisa mengontrol harga gula. Ketika melihat berita yang mengatakan kenaikan harga disebabkan melemahnya mata uang terhadap mata uang negara lain, ia menyalahkan negara lain yang dianggap terlalu berkuasa dan egois.

Dalam perjalanan ke kantor, udara di bus panas, ia mengeluhkan AC. Ketika dimarahi atasan karena laporan nya tidak beres, ia mengeluhkan teman sekantornya yang dianggap tidak memberi bahan laporan yang benar. Ketika ia lapar disiang hari dan tidak bisa membeli makanan ke luar, ia mengeluhkan istrinya yang tidak membawakan makan siang.

Pokoknya sepanjang hari ia mengeluh, mengeluh, mengeluh. Baginya semua hal negatif. Dan semua hal negatif dalam hidupnya terjadi karena kesalahan orang lain.

Upaya pemerintah mentertibkan lalu lintas, ia kritik. Upaya pemerintah memberi bantuan ke pengungsi, ia kritik. Bahkan berita tentang pengungsi yang meminta bantuan ke pemerintah pun ia kritik. Nggak ada yang benar dimata dia. Kecuali dia sendiri. Baginya semua hal itu negatif, walaupun sebenarnya ada hal positif nya. Tapi seolah-olah ia menutup mata akan hal yang positif itu.

Siang ini, ia mengeluh tentang harga tiket kereta yang mahal. Mencaci, ngomel-ngomel di sosial media tentang kebijakan yang aneh lah, pembodohan oleh petugas yang bilang harga naik untuk uang jaminan lah. Meminta petugas dicopot, dll.

Lalu ada seorang temannya yang komentar : 'beli tiket mahal, tapi setelah itu tiket bisa ditukar lagi dengan uang sebesar uang jaminan itu. jadi tidak ada yang dirugikan, tidak ada kenaikan sebenarnya. Toh jaminan juga diperlukan karena orang-orang suka semaunya dan susah diatur kalau mennyangkut angkutan masal. Ngerusak, dll. Jangan ngeluh mulu hidup lu bro'!

Jadi, kita mau jadi orang yang seperti apa? yang negative thinking terus, atau yang berusaha positive thinking? Think smart bro :D

May I Ask?

Dulu waktu saya masih SMP, di sebuah angkot, ada ibu-ibu yang duduk di depan saya. Posisi saya di belakang abang supir angkot mikrolet.
Ibu- ibu : Neng kalau daerah A itu dimana ya?
awalnya saya males ngejawab, bukan apa-apa, karena saya sendiri nggak begitu tau letak daerah A itu dimana. Maklum, saya mengidap penyakit susah menghapal jalanan, tempat, atau nama orang yang baru dikenal.
Saya : Kayanya sebentar lagi Bu
Ibu-ibu : Oooh, iyah iyah

Nggak berapa lama kemudian, si Ibu bertanya lagi
Ibu-ibu : Neng, sebentar lagi ya?
Saya : Iya bu kayanya.

Terdiam sebentar dan kemudian si Ibu nanya lagi, mungkin karena nggak puas dengan jawaban saya. Saya nya nggak bisa ngasih tau letak yang tepat dimananya si Ibu harus turun (daerah A).

Setelah si Ibu nanya untuk yang ketiga kali, tanpa menjawab pertanyaan si Ibu, saya langsung bilang ke supir angkotnya : 'bang, nanti di daerah A, kiri.' (maksudnya menepi)

Maksud saya supaya ibunya betul-betul bisa turun di daerah A. Dapet keterangan yang jelas tentang dimana daerah A itu, dan pastinya supaya abang angkot tau ada yang mau turun di daerah A, jadi si Ibu nggak bakal nyasar. Daripada saya kasih info yang nggak jelas.

Entah kenapa, tersinggung atau bagaimana dengan sikap saya, si Ibu langsung bilang dengan nada sedikit ketus : 'ya maaf sih Neng, saya bukan orang sini. Nggak tau daerah sini. Makanya banyak nanya-nanya.'

Ups, langsung ada perasaan nggak enak dihati saya. Maksud saya supaya nggak menyesatkan orang lain dengan info yang saya nggak tau pastinya, tapi ternyata cara saya malah menyinggung orang lain.

Sejak itu saya berjanji dalam hati, kalau ada orang atau teman yang bertanya, sebisa mungkin saya cari tau dulu jawabannya. Paling tidak saya punya info. Nggak menolak menjawab sama sekali. Maksudnya supaya nggak mengecewakan. Kalaupun saya ragu dengan jawaban saya, saya akan bilang terus terang supaya orang atau teman saya itu juga nyari info lain ke sumber lain yang bisa menguatkan atau membantah info saya. Tapi paling tidak, saya menjawab.

Contohnya hari ini, ada seorang teman yang bertanya angkutan ke jakarta. Walaupun saya orang jakarta, terus terang saya nggak apal sama sekali jalanan disana. Tapi saya berusaha mencari info di website, maps, tanya ke teman lain, dll. Intinya saya berusaha memberi masukan. Saya cari di maps, dimana letak daerah tujuan teman saya itu, lalu saya cari trayek bus-bus yang kira lewat situ, atau turun nya dimana supaya nggak kejauhan menuju daerah sana. Saya berusaha menberi info yang lengkap (walaupun nggak akurat). Makanya saya juga bilang ke temen saya itu untuk nanya lagi ke petugas terminal untuk memastikan trayek nya sebelum naek angkutan tersebut.


Dan teman yang bertanya itupun menghargai masukan saya. Di dalam hati ada perasaan senang juga. 
Bandingkan dengan misalnya, saya bertanya ke orang lain, dan orang lain itu cuma menjawab : 'cari sendiri'.
atau si orang memberi link, bahan , atau apapun yang harus saya cari tau sendiri. Saya lagi bingung, dikasih jawaban yang malah tambah bingung. hehehe.

Sebenernya hampir sama dengan kasus kuesioner. Pas saya mengerjakan skripsi dulu, saya perlu menyebar kuesioner sampai ke 200 orang. Coba bayangkan rasanya ketika saya harus berdiri di depan pintu, membagikan, menjelaskan, dan meminta satu per satu ke orang-orang untuk mengisi kuesioner saya. Tapi ketika acara sudah selesai dan saya masuk ruangan untuk mengumpulkan kuesioner saya, yang saya temukan adalah kertas-kertas kuesioner saya bertebaran di lantai begitu saja, ada yang hanya dilipat, dibuat kipas-kipasan, atau tak berbentuk. Dan kosong. Tidak terisi.


Pernah baca kata-kata salah satu motivator terkenal. Ada yang bertanya ke Beliau dan dijawab : 'sudah banyak, cari dulu '. Intinya Beliau bilang kalau jangan suka banyak nanya sebelum cari info sendiri. Kalau sudah ada infonya entah di web, dll, kenapa harus bertanya lagi?. Kenapa nggak nyari dulu jawabannya?.

Oke, saya setuju nggak setuju dengan pernyataan ini. Untuk masalah mencari info sebelum bertanya, saya maklum. Saya juga nggak suka dengan orang yang banyak nanya, padahal menurut saya jawabannya mudah atau bisa dicari sendiri. Buat apa ada goog** dll?. Mungkin merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan ngga penting itu. Usaha sendiri dulu sebelum nyerah dan minta tolong orang lain. Oke, maksudnya bagus.

Tapi coba bayangkan, kalau semua dianggap bisa dicari, buat apa ada dosen? bayangkan kalau semua dosen ketika ditanya bilang : 'cari sendiri, semua ada dibuku'. Padahal kita bertanya karena nggak ngerti maksud di buku itu apa. bayangkan ketika kita tanya tentang cara menuju daerah A ke temen, dan temen kita cuma kasih link yang isinya trayek angkutan. Padahal boro-boro kita ngerti misalnya terminal A itu dimana, trus A itu lokasinya sebelum atau sesudah si angkot turunin penumpang di terminal B. Atau, masa kita mau bilang ke adek kita yang tanya tentang rumus segi tiga untuk nyari sendiri di internet?.

Saya setuju dengan 'sebelum tanya, usaha dulu sendiri dong'. Tapi saya juga suka dengan 'kalau ditanya, usaha dulu untuk menjawab, jangan malah nyuruh nyari sendiri. Kasian orang yang nanya'
Misalnya, temen kita nanya kelurahan dimana, karena kita juga nggak yakin, paling nggak kita ngasih saran untuk tanya ke Pak RT yang rumahnya di blok sebelah. Anterin kalau memang dia juga nggak tau rumah pak RT. Jangan cuma dibilang : 'tanya pak RT aja', trus ngebiarin dia kebingungan nyari-nyari rumah pak RT sendirian. Orang yang bertanya pun pasti akan berterima kasih dengan usaha kita memberi saran dan masukan.


Apakah saat ini orang-orang sudah sebegitu 'sibuk' dengan urusan masing-masing, sehingga untuk menjawab pertanyaan pun keberatan? atau merasa super dan terancam jika harus berbagi pengetahuan ke orang lain? Entahlah.