Setelah 4 tahun kuliah diluar kota, dan biasanya cuma balik ke jakarta pas lebaran doang, sekarang saya menyempatkan diri untuk 'pulang kampung' ke tanah kelahiran. Membawa sebuah predikat 'sarjana' yang baru didapat, itung-itung nyantai dulu, balik ke rumah sambil cari-cari kesempatan mengadu nasib disini.
Lama dikota orang, jadi terpengaruh untuk ngebandingin Jakarta dengan kota lain, Bandung. Yah, walaupun sekarang juga 2 kota ini udah hampir sama dalam hal kemacetan, walaupun nggak separah Jakarta kalau menurut saya.
Trus, apa yang didapat dari hampir 2 minggu lebih balik kesini?, mmm, well, mungkin kata-kata yang saya dapat dari twitter teman bisa mengungkapkan semuanya :
"Jakarta is so not the ideal city to raise my future children in. It's crowded and polluted. And it's hard to keep up with the lifestyle."
Jakarta bukan cuma nggak ramah untuk anak-anak, tapi juga untuk orang dewasa. Walaupun saya berharapan besar dengan kinerja gubernur dan pemerintahannya untuk terus membuat Jakarta menjadi kota besar, rapi, ramah lingkungan, dan ramah sosial.
Setelah selesai kuliah, teman-teman, kakak kelas, banyak yang bercerita kalau mereka ke jakarta untuk kerja. Karena di jakarta peluang lebih besar, kesempatan lebih banyak, dan gaji lebih besar, dengan style hidup yang 'wah' sebagai ibukota negara. Jujur aja, sebagai fresgrad, pastilah pengen punya gaji yang besar sekaligus gaya hidup glamor. Saya juga. Tapi, sekarang mikir-mikir lagi. Okelah gaji besar, tapi apa orang-orang mikir kalau tekanan hidup disini juga besar banget?
Mungkin banyak juga yang beranggapan kalau saya pilih-pilih, idealis, banyak keinginan. Tapi boleh dong pilih-pilih, karena kerja kan bukan semata-mata nyari gaji aja, tapi juga mengembangkan diri. Gaji itu tujuan jangka pendek, tapi jarang orang yang planning hidupnya jangka panjang.
Oke, balik lagi ke awal, dilihat dari kemacetannya. Yakin, nggak ada yang ngalahin jakarta soal kemacetan. Sampai jalan tol pun macet!. Di daerah priuk (daerah yang sering disebut 'pinggiran' tanpa orang-orang sadarin, tanpa priuk, nggak akan ada barang ekspor impor juga), motor, mobil, angkutan umum, berdempet-dempetan sama kontainer yang gedenya berkali-kali lipat.
Di Jakarta, macet bisa berjam-jam. Jarak yang sebenarnya bisa ditempuh cuma 20 menit naik mobil, bisa 2 jam lebih kalau macet.
Di Jakarta, mencoba hidup sederhana itu susah. Membiasakan diri ke kemana-mana naik angkutan umum, masalahnya macet, nggak nyaman, copet, belum lagi kalau pak supirnya nggak sabaran, tiap semenit nge-klakson, ngebawa mobil ugal-ugalan, serempet sana sini sambil teriak-teriak maki-maki. Nggak ada yang mau ngalah.
Di Jakarta, semua pemikiran bisa terbalik. Yang baik dianggap jahat, yang mau nolong dianggap minta pamrih, yang jalan kaki dianggap miskin karena nggak bisa beli mobil. Tapi sebaliknya, kalau menganggap orang lain baik, bisa-bisa kita ditipu mentah-mentah. Nggak bisa dibedain mana yangn jujur dan bohong. Batas salah dan bener juga udah mulai ilang.
Pengalaman saya diangkot selama 2 minggu ini. Pertama, naik metromini, pas saya bilang mau turun, abangnya nggak mau berenti. Jadi cuma ngelambatin kecepatannya sedikit. Waktu saya nggak juga turun karena saya nggak mau ibu saya jatuh (turun dari angkot yang masih jalan itu bahaya), saya malah dibentak supirnya "hah, lambat amat sih!!".
Dihari lain, saya jalan kaki dengan benar di trotoar, lebih tepatnya, apa yang tersisa untuk pejalan kaki di trotoar itu. Mengingat sekarang trotoar udah jadi lahan parkir dan tempat jualan pedagang bandel yang nggak mau pindah walaupun udah dikasih tempat yang lebih layak dengan alasan untungnya dikit. Lagi ditrotoar, tiba-tiba saya diusir tukang parkir dadakan karena ada mobil yang mau parkir dipinggir jalan.
Nggak cuma itu, saya pernah diseruduk motor waktu lagi mau nyebrang. Tau kan bedanya pengemudi di Indonesia sama diluar negeri? kalau diluar negeri, lampu kuning, mereka siap-siap berhenti di belakang zebra cross, disini, lampu kuning mereka siap-siap tancap gas, kalau perlu, pura-pura berhenti sambil jalan pelan-pelan ngelewatin zebra cross biar bisa langsung ngebut. Seolah-olah nggak rela kalau didepannya ada jalur kosong untuk arah lain gantian.
Kenapa? ya karena disini, yang ngalah dianggap kalah. Kalau misalnya, kita ada dijalan sempit, tapi ada mobil dari arah berlawanan yang mau lewat. Akhirnya kita kasih kesempatan mobil itu lewat dulu, tapi setelah 10 menit, 15 menit, yang dari arah berlawan itu nggak mau gantian karena dianggap kita 'kalah'.
Nggak heran kenapa orang Jakarta sekarang dianggap individualistis. Gimana nggak, dengan kondisi keamanan, kemacetan, dll gitu, ibu manapun pasti akan protective ke anaknya. Anaknya mungkin akan selalu ada dirumah dengan gerbang tinggi, nggak kenal tetangga, bahkan sekolah pun dirumah. Apa-apa disediakan dirumah. Lambat laun si anak jadi orang dewasa yang nggak tau cara bersosialisasi. Begitu terus kaya mata rantai.
See? nggak heran kalau banyak yang silau sama gemerlap kota Jakarta, tapi saya setuju, buat orang yang cuma modal nekat, mending pikir-pikir lagi. jakarta nggak seindah yang orang bilang kok. kenapa nggak balik ke daerah masing-masing, majuin daerah sendiri.
Emangnya enak kalau kekantor sehari-hari aja kita perlu berjam-jam cuma untuk perjalanan bolak balik kantor-rumah? pulang kerja jam 5 sore, tapi baru sampai rumah jam 10 malem, belum stres nya dijalan, denger klakson nggak berhenti-henti, teriakan sana sini. Yang ada, nantinya anak jadi korban, nggak pernah tau kedekatan sama orang tuanya, dll.
Saya takut nantinya saya kehilangan banyak waktu dengan keluarga. Kalau uang, saya yakin dimana aja Allah ngasih rezeki, tapi keluarga, nggak bisa digantikan. Saya akan merasa bersalah kalau anak saya nantinya lebih dekat ke baby sitter, atau orang tua saya memilih tinggal jauh dari saya.
Semoga kota kelahiran saya ini bisa terus memperbaiki diri. Warga nya jadi warga yang mau memimpin dan mau dipimpin. Nggak cuma banyak maunya tapi nggak mau ngikutin peraturan yang ada. Semoga ^^