Pages

20 December 2013

Jakarta

Setelah 4 tahun kuliah diluar kota, dan biasanya cuma balik ke jakarta pas lebaran doang, sekarang saya menyempatkan diri untuk 'pulang kampung' ke tanah kelahiran. Membawa sebuah predikat 'sarjana' yang baru didapat, itung-itung nyantai dulu, balik ke rumah sambil cari-cari kesempatan mengadu nasib disini.

Lama dikota orang, jadi terpengaruh untuk ngebandingin Jakarta dengan kota lain, Bandung. Yah, walaupun sekarang juga 2 kota ini udah hampir sama dalam hal kemacetan, walaupun nggak separah Jakarta kalau menurut saya.

Trus, apa yang didapat dari hampir 2 minggu lebih balik kesini?, mmm, well, mungkin kata-kata yang saya dapat dari twitter teman bisa mengungkapkan semuanya :

"Jakarta is so not the ideal city to raise my future children in. It's crowded and polluted. And it's hard to keep up with the lifestyle."

Jakarta bukan cuma nggak ramah untuk anak-anak, tapi juga untuk orang dewasa. Walaupun saya berharapan besar dengan kinerja gubernur dan pemerintahannya untuk terus membuat Jakarta menjadi kota besar, rapi, ramah lingkungan, dan ramah sosial.

Setelah selesai kuliah, teman-teman, kakak kelas, banyak yang bercerita kalau mereka ke jakarta untuk kerja. Karena di jakarta peluang lebih besar, kesempatan lebih banyak, dan gaji lebih besar, dengan style hidup yang 'wah' sebagai ibukota negara. Jujur aja, sebagai fresgrad, pastilah pengen punya gaji yang besar sekaligus gaya hidup glamor. Saya juga. Tapi, sekarang mikir-mikir lagi. Okelah gaji besar, tapi apa orang-orang mikir kalau tekanan hidup disini juga besar banget?

Mungkin banyak juga yang beranggapan kalau saya pilih-pilih, idealis, banyak keinginan. Tapi boleh dong pilih-pilih, karena kerja kan bukan semata-mata nyari gaji aja, tapi juga mengembangkan diri. Gaji itu tujuan jangka pendek, tapi jarang orang yang planning hidupnya jangka panjang.

Oke, balik lagi ke awal, dilihat dari kemacetannya. Yakin, nggak ada yang ngalahin jakarta soal kemacetan. Sampai jalan tol pun macet!. Di daerah priuk (daerah yang sering disebut 'pinggiran' tanpa orang-orang sadarin, tanpa priuk, nggak akan ada barang ekspor impor juga), motor, mobil, angkutan umum, berdempet-dempetan sama kontainer yang gedenya berkali-kali lipat. 

Di Jakarta, macet bisa berjam-jam. Jarak yang sebenarnya bisa ditempuh cuma 20 menit naik mobil, bisa 2 jam lebih kalau macet.
Di Jakarta, mencoba hidup sederhana itu susah. Membiasakan diri ke kemana-mana naik angkutan umum, masalahnya macet, nggak nyaman, copet, belum lagi kalau pak supirnya nggak sabaran, tiap semenit nge-klakson, ngebawa mobil ugal-ugalan, serempet sana sini sambil teriak-teriak maki-maki. Nggak ada yang mau ngalah.
Di Jakarta, semua pemikiran bisa terbalik. Yang baik dianggap jahat, yang mau nolong dianggap minta pamrih, yang jalan kaki dianggap miskin karena nggak bisa beli mobil. Tapi sebaliknya, kalau menganggap orang lain baik, bisa-bisa kita ditipu mentah-mentah. Nggak bisa dibedain mana yangn jujur dan bohong. Batas salah dan bener juga udah mulai ilang.

Pengalaman saya diangkot selama 2 minggu ini. Pertama, naik metromini, pas saya bilang mau turun, abangnya nggak mau berenti. Jadi cuma ngelambatin kecepatannya sedikit. Waktu saya nggak juga turun karena saya nggak mau ibu saya jatuh (turun dari angkot yang masih jalan itu bahaya), saya malah dibentak supirnya "hah, lambat amat sih!!".
Dihari lain, saya jalan kaki dengan benar di trotoar, lebih tepatnya, apa yang tersisa untuk pejalan kaki di trotoar itu. Mengingat sekarang trotoar udah jadi lahan parkir dan tempat jualan pedagang bandel yang nggak mau pindah walaupun udah dikasih tempat yang lebih layak dengan alasan untungnya dikit. Lagi ditrotoar, tiba-tiba saya diusir tukang parkir dadakan karena ada mobil yang mau parkir dipinggir jalan. 
Nggak cuma itu, saya pernah diseruduk motor waktu lagi mau nyebrang. Tau kan bedanya pengemudi di Indonesia sama diluar negeri? kalau diluar negeri, lampu kuning, mereka siap-siap berhenti di belakang zebra cross, disini, lampu kuning mereka siap-siap tancap gas, kalau perlu, pura-pura berhenti sambil jalan pelan-pelan ngelewatin zebra cross biar bisa langsung ngebut. Seolah-olah nggak rela kalau didepannya ada jalur kosong untuk arah lain gantian.
Kenapa? ya karena disini, yang ngalah dianggap kalah. Kalau misalnya, kita ada dijalan sempit, tapi ada mobil dari arah berlawanan yang mau lewat. Akhirnya kita kasih kesempatan mobil itu lewat dulu, tapi setelah 10 menit, 15 menit, yang dari arah berlawan itu nggak mau gantian karena dianggap kita 'kalah'.

Nggak heran kenapa orang Jakarta sekarang dianggap individualistis. Gimana nggak, dengan kondisi keamanan, kemacetan, dll gitu, ibu manapun pasti akan protective ke anaknya. Anaknya mungkin akan selalu ada dirumah dengan gerbang tinggi, nggak kenal tetangga, bahkan sekolah pun dirumah. Apa-apa disediakan dirumah. Lambat laun si anak jadi orang dewasa yang nggak tau cara bersosialisasi. Begitu terus kaya mata rantai.

See? nggak heran kalau banyak yang silau sama gemerlap kota Jakarta, tapi saya setuju, buat orang yang cuma modal nekat, mending pikir-pikir lagi. jakarta nggak seindah yang orang bilang kok. kenapa nggak balik ke daerah masing-masing, majuin daerah sendiri.

Emangnya enak kalau kekantor sehari-hari aja kita perlu berjam-jam cuma untuk perjalanan bolak balik kantor-rumah? pulang kerja jam 5 sore, tapi baru sampai rumah jam 10 malem, belum stres nya dijalan, denger klakson nggak berhenti-henti, teriakan sana sini. Yang ada, nantinya anak jadi korban, nggak pernah tau kedekatan sama orang tuanya, dll.

Saya takut nantinya saya kehilangan banyak waktu dengan keluarga. Kalau uang, saya yakin dimana aja Allah ngasih rezeki, tapi keluarga, nggak bisa digantikan. Saya akan merasa bersalah kalau anak saya nantinya lebih dekat ke baby sitter, atau orang tua saya memilih tinggal jauh dari saya.

Semoga kota kelahiran saya ini bisa terus memperbaiki diri. Warga nya jadi warga yang mau memimpin dan mau dipimpin. Nggak cuma banyak maunya tapi nggak mau ngikutin peraturan yang ada. Semoga ^^


18 October 2013

How To Be Happy

How to be happy in this life.

1. Free your mind from worries
2. Free your heart from hate
3. Live simply
4. Give more
5. Expect Less


Jangan pernah membandingkan apapun yang terjadi di dalam hidupmu dengan kehidupan orang lain.

Jangan pernah menyalahkan siapapun atas apapun yang terjadi di dalam hidupmu.

17 September 2013

A Little Thing Called 'Love'

A Little Thing Called Love memang judul salah satu film yang pernah aku tonton. Dari judulnya aja, udah berasa makna nya yang 'dalem'.
Tapi, sekarang aku nggak lagi pengen ngebahas tentang film Thailand ini (and, yeah, aku akuin, banyak film-film romantis menyentuh hati dari Thailand yang nggak kalah sama film korea).

Yang buat aku penasaran dan kagum, justru iklan-iklan nya (kebanyakan iklan asuransi sih). hehehe.
Setelah banyak yang nge-share link di sosmed, mulailah aku iseng-iseng liat-liat. Dan terkagum-kagum sama iklan yang lucu, unik, bahkan sedih. Serunya, iklan-iklan ini kaya bisa menceritakan hal-hal yg kecil dengan cerita yang 'wah'. Idenya suka nggak kepikiran, atau sebenernya kepikiran, tapi nggak meninggalkan kesan mendalam. Bahkan terkadang cuma sebatas iklan sampo, asuransi, atau bank.

Liat beberapa iklannya, terutama yang sedih-sedih, seperti nyeritain banyak hal. Yak, hal kecil yang suka nggak kita sadari. 'Love'. Cinta orang tua ke anak, cinta kepada sesama.

And then, mulai lah aku berburu iklan-iklan atau bisa dibilang short movie kali yah, yang menurut aku maknanya cukup dalem.

1. Dad, wherever you go...




2. Silent Love




3. Dad's love




4. Value of Life




5. Giving





6. My first and my last





7. Que sera sera




When I was just a little girl
I asked my mother
What will I be
Will I be pretty
Will I be rich
Here's what she said to me

Que sera, sera
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que sera, sera
What will be, will be

When I grew up and fell in love
I asked my sweetheart
What lies ahead
Will we have rainbows
Day after day
Here's what my sweetheart said

Que sera, sera
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que sera, sera
What will be, will be

Now I have Children of my own
They ask their mother
What will I be
Will I be handsome
Will I be rich
I tell them tenderly

Que sera, sera
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que sera, sera
What will be, will be
Que Sera, Sera


dan yang terakhir,,,
27 August 2013

Jangan Ngeluh

Ceritanya ada seorang lelaki.

Di pagi hari, ia mengeluhkan kopinya yang pahit, ketika istrinya bilang harga gula naik, ia menyalahkan pemerintah yang nggak bisa mengontrol harga gula. Ketika melihat berita yang mengatakan kenaikan harga disebabkan melemahnya mata uang terhadap mata uang negara lain, ia menyalahkan negara lain yang dianggap terlalu berkuasa dan egois.

Dalam perjalanan ke kantor, udara di bus panas, ia mengeluhkan AC. Ketika dimarahi atasan karena laporan nya tidak beres, ia mengeluhkan teman sekantornya yang dianggap tidak memberi bahan laporan yang benar. Ketika ia lapar disiang hari dan tidak bisa membeli makanan ke luar, ia mengeluhkan istrinya yang tidak membawakan makan siang.

Pokoknya sepanjang hari ia mengeluh, mengeluh, mengeluh. Baginya semua hal negatif. Dan semua hal negatif dalam hidupnya terjadi karena kesalahan orang lain.

Upaya pemerintah mentertibkan lalu lintas, ia kritik. Upaya pemerintah memberi bantuan ke pengungsi, ia kritik. Bahkan berita tentang pengungsi yang meminta bantuan ke pemerintah pun ia kritik. Nggak ada yang benar dimata dia. Kecuali dia sendiri. Baginya semua hal itu negatif, walaupun sebenarnya ada hal positif nya. Tapi seolah-olah ia menutup mata akan hal yang positif itu.

Siang ini, ia mengeluh tentang harga tiket kereta yang mahal. Mencaci, ngomel-ngomel di sosial media tentang kebijakan yang aneh lah, pembodohan oleh petugas yang bilang harga naik untuk uang jaminan lah. Meminta petugas dicopot, dll.

Lalu ada seorang temannya yang komentar : 'beli tiket mahal, tapi setelah itu tiket bisa ditukar lagi dengan uang sebesar uang jaminan itu. jadi tidak ada yang dirugikan, tidak ada kenaikan sebenarnya. Toh jaminan juga diperlukan karena orang-orang suka semaunya dan susah diatur kalau mennyangkut angkutan masal. Ngerusak, dll. Jangan ngeluh mulu hidup lu bro'!

Jadi, kita mau jadi orang yang seperti apa? yang negative thinking terus, atau yang berusaha positive thinking? Think smart bro :D

May I Ask?

Dulu waktu saya masih SMP, di sebuah angkot, ada ibu-ibu yang duduk di depan saya. Posisi saya di belakang abang supir angkot mikrolet.
Ibu- ibu : Neng kalau daerah A itu dimana ya?
awalnya saya males ngejawab, bukan apa-apa, karena saya sendiri nggak begitu tau letak daerah A itu dimana. Maklum, saya mengidap penyakit susah menghapal jalanan, tempat, atau nama orang yang baru dikenal.
Saya : Kayanya sebentar lagi Bu
Ibu-ibu : Oooh, iyah iyah

Nggak berapa lama kemudian, si Ibu bertanya lagi
Ibu-ibu : Neng, sebentar lagi ya?
Saya : Iya bu kayanya.

Terdiam sebentar dan kemudian si Ibu nanya lagi, mungkin karena nggak puas dengan jawaban saya. Saya nya nggak bisa ngasih tau letak yang tepat dimananya si Ibu harus turun (daerah A).

Setelah si Ibu nanya untuk yang ketiga kali, tanpa menjawab pertanyaan si Ibu, saya langsung bilang ke supir angkotnya : 'bang, nanti di daerah A, kiri.' (maksudnya menepi)

Maksud saya supaya ibunya betul-betul bisa turun di daerah A. Dapet keterangan yang jelas tentang dimana daerah A itu, dan pastinya supaya abang angkot tau ada yang mau turun di daerah A, jadi si Ibu nggak bakal nyasar. Daripada saya kasih info yang nggak jelas.

Entah kenapa, tersinggung atau bagaimana dengan sikap saya, si Ibu langsung bilang dengan nada sedikit ketus : 'ya maaf sih Neng, saya bukan orang sini. Nggak tau daerah sini. Makanya banyak nanya-nanya.'

Ups, langsung ada perasaan nggak enak dihati saya. Maksud saya supaya nggak menyesatkan orang lain dengan info yang saya nggak tau pastinya, tapi ternyata cara saya malah menyinggung orang lain.

Sejak itu saya berjanji dalam hati, kalau ada orang atau teman yang bertanya, sebisa mungkin saya cari tau dulu jawabannya. Paling tidak saya punya info. Nggak menolak menjawab sama sekali. Maksudnya supaya nggak mengecewakan. Kalaupun saya ragu dengan jawaban saya, saya akan bilang terus terang supaya orang atau teman saya itu juga nyari info lain ke sumber lain yang bisa menguatkan atau membantah info saya. Tapi paling tidak, saya menjawab.

Contohnya hari ini, ada seorang teman yang bertanya angkutan ke jakarta. Walaupun saya orang jakarta, terus terang saya nggak apal sama sekali jalanan disana. Tapi saya berusaha mencari info di website, maps, tanya ke teman lain, dll. Intinya saya berusaha memberi masukan. Saya cari di maps, dimana letak daerah tujuan teman saya itu, lalu saya cari trayek bus-bus yang kira lewat situ, atau turun nya dimana supaya nggak kejauhan menuju daerah sana. Saya berusaha menberi info yang lengkap (walaupun nggak akurat). Makanya saya juga bilang ke temen saya itu untuk nanya lagi ke petugas terminal untuk memastikan trayek nya sebelum naek angkutan tersebut.


Dan teman yang bertanya itupun menghargai masukan saya. Di dalam hati ada perasaan senang juga. 
Bandingkan dengan misalnya, saya bertanya ke orang lain, dan orang lain itu cuma menjawab : 'cari sendiri'.
atau si orang memberi link, bahan , atau apapun yang harus saya cari tau sendiri. Saya lagi bingung, dikasih jawaban yang malah tambah bingung. hehehe.

Sebenernya hampir sama dengan kasus kuesioner. Pas saya mengerjakan skripsi dulu, saya perlu menyebar kuesioner sampai ke 200 orang. Coba bayangkan rasanya ketika saya harus berdiri di depan pintu, membagikan, menjelaskan, dan meminta satu per satu ke orang-orang untuk mengisi kuesioner saya. Tapi ketika acara sudah selesai dan saya masuk ruangan untuk mengumpulkan kuesioner saya, yang saya temukan adalah kertas-kertas kuesioner saya bertebaran di lantai begitu saja, ada yang hanya dilipat, dibuat kipas-kipasan, atau tak berbentuk. Dan kosong. Tidak terisi.


Pernah baca kata-kata salah satu motivator terkenal. Ada yang bertanya ke Beliau dan dijawab : 'sudah banyak, cari dulu '. Intinya Beliau bilang kalau jangan suka banyak nanya sebelum cari info sendiri. Kalau sudah ada infonya entah di web, dll, kenapa harus bertanya lagi?. Kenapa nggak nyari dulu jawabannya?.

Oke, saya setuju nggak setuju dengan pernyataan ini. Untuk masalah mencari info sebelum bertanya, saya maklum. Saya juga nggak suka dengan orang yang banyak nanya, padahal menurut saya jawabannya mudah atau bisa dicari sendiri. Buat apa ada goog** dll?. Mungkin merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan ngga penting itu. Usaha sendiri dulu sebelum nyerah dan minta tolong orang lain. Oke, maksudnya bagus.

Tapi coba bayangkan, kalau semua dianggap bisa dicari, buat apa ada dosen? bayangkan kalau semua dosen ketika ditanya bilang : 'cari sendiri, semua ada dibuku'. Padahal kita bertanya karena nggak ngerti maksud di buku itu apa. bayangkan ketika kita tanya tentang cara menuju daerah A ke temen, dan temen kita cuma kasih link yang isinya trayek angkutan. Padahal boro-boro kita ngerti misalnya terminal A itu dimana, trus A itu lokasinya sebelum atau sesudah si angkot turunin penumpang di terminal B. Atau, masa kita mau bilang ke adek kita yang tanya tentang rumus segi tiga untuk nyari sendiri di internet?.

Saya setuju dengan 'sebelum tanya, usaha dulu sendiri dong'. Tapi saya juga suka dengan 'kalau ditanya, usaha dulu untuk menjawab, jangan malah nyuruh nyari sendiri. Kasian orang yang nanya'
Misalnya, temen kita nanya kelurahan dimana, karena kita juga nggak yakin, paling nggak kita ngasih saran untuk tanya ke Pak RT yang rumahnya di blok sebelah. Anterin kalau memang dia juga nggak tau rumah pak RT. Jangan cuma dibilang : 'tanya pak RT aja', trus ngebiarin dia kebingungan nyari-nyari rumah pak RT sendirian. Orang yang bertanya pun pasti akan berterima kasih dengan usaha kita memberi saran dan masukan.


Apakah saat ini orang-orang sudah sebegitu 'sibuk' dengan urusan masing-masing, sehingga untuk menjawab pertanyaan pun keberatan? atau merasa super dan terancam jika harus berbagi pengetahuan ke orang lain? Entahlah. 





26 July 2013

Yang Muda Nggak Dipercaya

Alhamdulillah, finally, resmi sudah menjadi salah satu pengangguran di Indonesia. Setelah masa kuliah tepat 4 tahun, akhirnya dapet juga gelar S.T itu.

Dulu, pas lulus SMA, pertanyaan yang sering didenger adalah "mau kuliah dimana?", pas udah kuliah ditanyain "kapan lulus?", setelah lulus kuliah, pertanyaannya ganti jadi "udah kerja belom?, kerja dimana?", dan ntar kalau udah kerja, jadi "kapan nikah?".

Sebagai freshgrad, mungkin sering banget dikasih pertanyaan-pertanyaan "mau kerja dimana?". Dan jujur aja sebagai freshgrad, aku juga ngerasa was-was ketika pertama kali harus masuk ke dunia baru, iya, dunia kerja.

Trus, apa hubungannya freshgrad sama judul tulisan ini?
Jadi begini ceritanya, inget sebuah iklan (rokok kalo ga salah), yang ceritanya tentang anak muda yang kalau ngomong selalu dipandang sebelah mata.

Mungkin banyak pandangan tentang anak muda yang 'belum bisa apa-apa', atau 'nggak ngerti apa-apa', 'nggak ada pengalaman'. Orang-orang masih banyak yang memandang sebelah mata, bahkan bisa jadi meremehkan pendapat anak muda.

Aku sendiri pernah punya pengalaman, ketika terlibat dalam sebuah proyek yang mayoritas bapak-bapak, aku pernah ditanya "IPK nya berapa?", "itu IPK tinggi-tinggi, asli atau palsu tuh?", "pernah diajar sama dosen A?, jangan-jangan nilai A nya berlimpah gara-gara dosen A", "SMA nya dulu dimana?", "mmmm, SMA nya nggak terkenal ya"

Sebagai 'anak bawang', waktu itu aku mikirnya ya namanya juga bapak-bapak, dan pendidikan beliau beliau juga udah S2, aku mungkin belum ada apa-apanya dibanding beliau beliau itu.

Tapi kalau dipikir mendalam, walaupun nggak selalu ya, tergantung lingkungan kerja dan pribadi masing-masing juga. Memang nggak jarang yang namanya anak-anak muda itu 'kurang didengar' atau 'kurang dipercaya'.


11 June 2013

Nostalgia Soundtrack Drama Korea - Jepang

Lagi seneng nyari-nyari musik instrumental. Malah nostalgia lagu-lagu drama Korea dan Jepang. Oiya, video-video dibawah ini cuma musik aja, ngga ada video clip nya.. Abis denger lagu-lagu ini, jadi pengin bisa main piano ^^

1. Endless Love


2. 1 Litre of Tears






3. Ienakiko (Rindu-Rindu Aizawa) ---> Film drama Jepang pas zaman masih kecil :D